Kamis, 30 April 2009

Peremajaan Politik PDI-P



  • Oleh TA Legowo

RAPAT Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), 26/04/09, menghasilkan tiga keputusan dan rekomendasi. Pertama, penilaian atas keburukan proses pemilu legislatif. Karena itu, mendesak presiden sebagai kepala pemerintahan, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bertanggung jawab atas masalah ini. Kedua, penegasan kembali atas pencalonan Megawati Soekarnopoetri sebagai presiden sebagai jalan ideologis untuk kemakmuran Indonesia. Ketiga, memberi mandat kepada Megawati untuk menentukan calon wakil presiden (cawapres) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009.

Hasil Rapimnas PDI-P itu terlihat sebagai respons atas kepentingan politik partai untuk kebutuhan eksternal dan bersifat jangka pendek. Hasil tersebut kurang memantulkan kebutuhan jangka panjang. Bukan hanya untuk survival, tetapi lebih penting, untuk penegasan peran reformasi yang harus dimainkan oleh PDI-P.

PDI-P hampir dapat dipastikan kembali gagal memenangi Pemilu Legislatif 2009. Bahkan perolehan suaranya cenderung menurun hingga di kisaran kurang lebih 14 persen. Partai yang lahir sebagai partai politik (parpol) reformasi ini tampak tidak mampu mengelola momentum kepercayaan publik yang relatif besar ketika memenangi 33 persen dukungan pemilih pada Pemilu 1999.

Tanpa ada pembaruan mendasar dan serius dalam pengelolaan internal partai yang berefek eksternal untuk memperluas dukungan publik, PDI-P dapat bermetamorfosis dari atribut ”partainya wong cilik” menjadi benar-benar ”partai cilik” pada Pemilu 2014.

Kurun sepuluh tahun reformasi memberi banyak peluang bagi PDI-P untuk memainkan peran sebagai partai reformis yang konsisten antara atribut sebagai ”partainya wong cilik” dan kegiatan-kegiatan nyata di dalam maupun di luar parlemen yang membela kepentingan wong cilik.

Pertanyaan reflektif, misalnya, apakah selama sepuluh tahun terakhir ini PDI-P dan para utusan di DPR telah berjuang hingga titik akhir, misalnya, untuk mengadvokasi masalah dan membela kepentingan petani tradisional, buruh tani, nelayan, dan industri, atau telah berjuang mati-matian memberantas kemiskinan untuk menaikan derajat hidup kaum papa serta miskin, dan sebagainya.

Kurang Efektif

Sebenarnya pertanyaan semacam itu telah dijawab oleh PDI-P namun bersifat parsial dan dengan jangkauan yang sangat terbatas melalui iklan (politik) pertanggungjawaban fraksi PDI-P di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Iklan seperti ini terlihat kurang efektif dalam meyakinkan dan memperluas penerimaan publik terhadap PDI-P.

Iklan politik pertanggungjawaban semacam itu perlu dilakukan secara berkala dan dengan jangkauan publik yang semakin meluas dari waktu ke waktu, serta konsisten dalam substansi. Konsistensi ini terlihat kurang ditunjukkan oleh PDI-P dalam banyak hal.

Satu contoh saja adalah kritik Megawati terhadap program bantuan langsung tunai (BLT) pemerintahan SBY-JK dalam satu kesempatan kampanye terbuka pemilu legislatif lalu. Kritik ini sangat tajam, dan benar dalam perspektik pembelaan harga diri kaum miskin; sebab memberantas kemiskinan tidak dapat dilakukan dengan program ”kedermawanan” seperti BLT.

Kritik yang berpotensi membawa pengaruh terhadap persepsi positif publik kepada PDI-P tidak konsisten dilakukan, karena segera dikoreksi oleh tokoh-tokoh partai sendiri dengan penegasan bahwa BLT dapat diterima tetapi proses pembagiannya harus diawasi supaya tepat sasaran.

Koreksi ini telah menimbulkan keraguan di banyak kalangan atas kesungguhan PDI-P memainkan peran sebagai partai oposisi yang dimaknai sebagai partai dengan program alternatif yang lebih baik daripada program yang dijalankan pemerintah yang berkuasa.

Peran sebagai partai oposisi yang dijalankan PDI-P secara kurang konsisten itu mungkin memberikan penjelasan atas keburukan perolehan suara partai dalam pemilu kali ini. Faktor lain bagi kemerosotan perolehan suara partai ini adalah kesan umum bahwa kepemilikan PDI-P oleh (keluarga) Megawati Soekarnopoetri, bukan oleh anggota partai.

Kepemimpinan Megawati

Kepemimpinan Megawati telah berlangsung lebih dari satu dasarwasa. Pada awal kepemimpinan Mega, PDI-P sangat diuntungkan karena sentimen publik memihak pada putri Bung Karno sebagai korban politik rezim Orde Baru. Namun, pada tahap berikutnya, kepemimpinan itu tidak lagi menguntungkan PDI-P baik secara internal maupun eksternal.

Bisa dicatat, sejak 2000 PDI-P mengalami banyak konflik internal dalam jajaran kepengurusan partai di tingkat nasional maupun daerah. Hasilnya, sejumlah tokoh dan pendukung harus hengkang dan atau didepak keluar dari PDI-P. Ini terlihat pada sejumlah kasus konflik kepengurusan partai di daerah terkait dengan pencalonan kader partai pada pemilihan kepala daerah (pilkada), dan yang mutakhir, misalnya, pengunduran diri Permadi dari PDI-P (yang kemudian berkubu di Partai Gerindra).

Penyelesaian konflik-konflik internal tersebut terlihat mengacu pada usaha mempertahankan kepemimpinan Megawati dengan tanpa melihat efek negatif bagi terganggunya soliditas dan konsolidasi internal PDI-P. Pembentukan PNBK dan PDP pada waktu-waktu yang lalu, misalnya, memantulkan dengan jelas efek negatif tersebut.

Di sisi eksternal, PDI-P telah dinilai kurang teguh (committed) dalam memperjuangkan kepentingan dan aspirasi ”wong cilik”. Selama memimpin pemerintahan 2000-2004, Megawati dan PDI-P kurang berkinerja dalam menggalang banyak upaya untuk mempersempit jurang antara kaya dan miskin, dalam memberantas korupsi dan dalam penyelesaian masalah perlakuan yang kurang adil terhadap daerah-daerah di Indonesia. Untuk masalah itu, Megawati dan PDI-P telah dihukum dengan kekalahan beruntun dalam Pemilu Legislatif dan Pilpres 2004.

Periode 2004-2009 memaksa PDI-P untuk menyatakan diri sebagai partai oposisi terhadap pemerintahan terpilih SBY-JK. Meski merupakan suatu pengenalan tradisi baru dalam politik di Indonesia, PDI-P ternyata belum mampu memainkan peran oposisi ini secara programatis dengan basis kebijakan umum partai. Alhasil, sikap-sikap oposisi yang ditampilkan PDI-P bersifat reaksioner, sesaat dan kurang konsisten.

Dengan kata lain, PDI-P pun dilihat tidak berhasil dalam memainkan peran sebagai partai oposisi, dalam dua aspek: pertama, perbaikan mutu kinerja pemerintahan terpilih, dan kedua, perluasaan penerimaan publik terhadap eksistensi dan karya politik PDI-P.

Kepemimpinan Megawati telah dibayar mahal oleh PDI-P dengan tiga kali kekalahan beruntun dalam kompetisi Pemilu 2004, Pilpres 2004 dan Pemilu 2009. Belum lagi jika dihitung kegagalan PDI-P dalam kompetisi Pilkada sejak 2006. Demikian juga, PDI-P dalam kurun sepuluh tahun terakhir terlihat justru makin kecil dan kurang berdaya.

Peremajaan

Memasuki Pilpres 2009, PDI-P secara meyakinkan akan menampilkan kembali Megawati sebagai calon presiden (capres). Keputusan ini diambil jauh hari sebelum pelaksanaan dan penetapan hasil Pemilu legislatif 2009, ketika partai ini amat yakin akan memenangi pemilu tersebut.

Jika tetap akan maju dan memperbesar peluang untuk memenangkan Pilpres 2009, PDI-P mestinya menengok kembali keputusan politiknya itu, dan merumuskan kembali strategi politik baru. Dasar pertimbangannya, apakah sisa-sisa karisma Megawati Soekarnopoetri masih dapat diandalkan bagi PDI-P untuk menghindari kekalahan politik dalam Pilpres 2009?

Pertanyaan tersebut tidak sekadar menyarankan supaya PDI-P melakukan regenerasi kepemimpinan, tetapi lebih luas dan mendalam, yakni melakukan rejuvenasi atau peremajaan politik baik pada dirinya sendiri maupun dalam perannya sebagai partai politik reformis.

Dengan rejuvenasi politik, PDI-P menginisiasi bukan hanya perubahan internal secara mendasar, tetapi juga menawarkan kepada publik konsep dan perubahan yang berarti bagi kemajuan masyarakat.

Indonesia memerlukan penyegaran paradigma, bukan sekadar power shift. Apa yang ditawarkan PDI-P dari hasil Rapimnas-nya jelas bukan penyegaran paradigma. Namun, peluang untuk dapat melakukan power shift pun kurang didasari oleh penjelasan yang meyakinkan bahwa Megawati Soekarnopoetri pasti akan memenangi Pilpres 2009. (35)

–– TA Legowo, Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), tinggal di Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar