Pemilu 09 Jateng

Kamis, 30 April 2009

Peremajaan Politik PDI-P



  • Oleh TA Legowo

RAPAT Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), 26/04/09, menghasilkan tiga keputusan dan rekomendasi. Pertama, penilaian atas keburukan proses pemilu legislatif. Karena itu, mendesak presiden sebagai kepala pemerintahan, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bertanggung jawab atas masalah ini. Kedua, penegasan kembali atas pencalonan Megawati Soekarnopoetri sebagai presiden sebagai jalan ideologis untuk kemakmuran Indonesia. Ketiga, memberi mandat kepada Megawati untuk menentukan calon wakil presiden (cawapres) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009.

Hasil Rapimnas PDI-P itu terlihat sebagai respons atas kepentingan politik partai untuk kebutuhan eksternal dan bersifat jangka pendek. Hasil tersebut kurang memantulkan kebutuhan jangka panjang. Bukan hanya untuk survival, tetapi lebih penting, untuk penegasan peran reformasi yang harus dimainkan oleh PDI-P.

PDI-P hampir dapat dipastikan kembali gagal memenangi Pemilu Legislatif 2009. Bahkan perolehan suaranya cenderung menurun hingga di kisaran kurang lebih 14 persen. Partai yang lahir sebagai partai politik (parpol) reformasi ini tampak tidak mampu mengelola momentum kepercayaan publik yang relatif besar ketika memenangi 33 persen dukungan pemilih pada Pemilu 1999.

Tanpa ada pembaruan mendasar dan serius dalam pengelolaan internal partai yang berefek eksternal untuk memperluas dukungan publik, PDI-P dapat bermetamorfosis dari atribut ”partainya wong cilik” menjadi benar-benar ”partai cilik” pada Pemilu 2014.

Kurun sepuluh tahun reformasi memberi banyak peluang bagi PDI-P untuk memainkan peran sebagai partai reformis yang konsisten antara atribut sebagai ”partainya wong cilik” dan kegiatan-kegiatan nyata di dalam maupun di luar parlemen yang membela kepentingan wong cilik.

Pertanyaan reflektif, misalnya, apakah selama sepuluh tahun terakhir ini PDI-P dan para utusan di DPR telah berjuang hingga titik akhir, misalnya, untuk mengadvokasi masalah dan membela kepentingan petani tradisional, buruh tani, nelayan, dan industri, atau telah berjuang mati-matian memberantas kemiskinan untuk menaikan derajat hidup kaum papa serta miskin, dan sebagainya.

Kurang Efektif

Sebenarnya pertanyaan semacam itu telah dijawab oleh PDI-P namun bersifat parsial dan dengan jangkauan yang sangat terbatas melalui iklan (politik) pertanggungjawaban fraksi PDI-P di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Iklan seperti ini terlihat kurang efektif dalam meyakinkan dan memperluas penerimaan publik terhadap PDI-P.

Iklan politik pertanggungjawaban semacam itu perlu dilakukan secara berkala dan dengan jangkauan publik yang semakin meluas dari waktu ke waktu, serta konsisten dalam substansi. Konsistensi ini terlihat kurang ditunjukkan oleh PDI-P dalam banyak hal.

Satu contoh saja adalah kritik Megawati terhadap program bantuan langsung tunai (BLT) pemerintahan SBY-JK dalam satu kesempatan kampanye terbuka pemilu legislatif lalu. Kritik ini sangat tajam, dan benar dalam perspektik pembelaan harga diri kaum miskin; sebab memberantas kemiskinan tidak dapat dilakukan dengan program ”kedermawanan” seperti BLT.

Kritik yang berpotensi membawa pengaruh terhadap persepsi positif publik kepada PDI-P tidak konsisten dilakukan, karena segera dikoreksi oleh tokoh-tokoh partai sendiri dengan penegasan bahwa BLT dapat diterima tetapi proses pembagiannya harus diawasi supaya tepat sasaran.

Koreksi ini telah menimbulkan keraguan di banyak kalangan atas kesungguhan PDI-P memainkan peran sebagai partai oposisi yang dimaknai sebagai partai dengan program alternatif yang lebih baik daripada program yang dijalankan pemerintah yang berkuasa.

Peran sebagai partai oposisi yang dijalankan PDI-P secara kurang konsisten itu mungkin memberikan penjelasan atas keburukan perolehan suara partai dalam pemilu kali ini. Faktor lain bagi kemerosotan perolehan suara partai ini adalah kesan umum bahwa kepemilikan PDI-P oleh (keluarga) Megawati Soekarnopoetri, bukan oleh anggota partai.

Kepemimpinan Megawati

Kepemimpinan Megawati telah berlangsung lebih dari satu dasarwasa. Pada awal kepemimpinan Mega, PDI-P sangat diuntungkan karena sentimen publik memihak pada putri Bung Karno sebagai korban politik rezim Orde Baru. Namun, pada tahap berikutnya, kepemimpinan itu tidak lagi menguntungkan PDI-P baik secara internal maupun eksternal.

Bisa dicatat, sejak 2000 PDI-P mengalami banyak konflik internal dalam jajaran kepengurusan partai di tingkat nasional maupun daerah. Hasilnya, sejumlah tokoh dan pendukung harus hengkang dan atau didepak keluar dari PDI-P. Ini terlihat pada sejumlah kasus konflik kepengurusan partai di daerah terkait dengan pencalonan kader partai pada pemilihan kepala daerah (pilkada), dan yang mutakhir, misalnya, pengunduran diri Permadi dari PDI-P (yang kemudian berkubu di Partai Gerindra).

Penyelesaian konflik-konflik internal tersebut terlihat mengacu pada usaha mempertahankan kepemimpinan Megawati dengan tanpa melihat efek negatif bagi terganggunya soliditas dan konsolidasi internal PDI-P. Pembentukan PNBK dan PDP pada waktu-waktu yang lalu, misalnya, memantulkan dengan jelas efek negatif tersebut.

Di sisi eksternal, PDI-P telah dinilai kurang teguh (committed) dalam memperjuangkan kepentingan dan aspirasi ”wong cilik”. Selama memimpin pemerintahan 2000-2004, Megawati dan PDI-P kurang berkinerja dalam menggalang banyak upaya untuk mempersempit jurang antara kaya dan miskin, dalam memberantas korupsi dan dalam penyelesaian masalah perlakuan yang kurang adil terhadap daerah-daerah di Indonesia. Untuk masalah itu, Megawati dan PDI-P telah dihukum dengan kekalahan beruntun dalam Pemilu Legislatif dan Pilpres 2004.

Periode 2004-2009 memaksa PDI-P untuk menyatakan diri sebagai partai oposisi terhadap pemerintahan terpilih SBY-JK. Meski merupakan suatu pengenalan tradisi baru dalam politik di Indonesia, PDI-P ternyata belum mampu memainkan peran oposisi ini secara programatis dengan basis kebijakan umum partai. Alhasil, sikap-sikap oposisi yang ditampilkan PDI-P bersifat reaksioner, sesaat dan kurang konsisten.

Dengan kata lain, PDI-P pun dilihat tidak berhasil dalam memainkan peran sebagai partai oposisi, dalam dua aspek: pertama, perbaikan mutu kinerja pemerintahan terpilih, dan kedua, perluasaan penerimaan publik terhadap eksistensi dan karya politik PDI-P.

Kepemimpinan Megawati telah dibayar mahal oleh PDI-P dengan tiga kali kekalahan beruntun dalam kompetisi Pemilu 2004, Pilpres 2004 dan Pemilu 2009. Belum lagi jika dihitung kegagalan PDI-P dalam kompetisi Pilkada sejak 2006. Demikian juga, PDI-P dalam kurun sepuluh tahun terakhir terlihat justru makin kecil dan kurang berdaya.

Peremajaan

Memasuki Pilpres 2009, PDI-P secara meyakinkan akan menampilkan kembali Megawati sebagai calon presiden (capres). Keputusan ini diambil jauh hari sebelum pelaksanaan dan penetapan hasil Pemilu legislatif 2009, ketika partai ini amat yakin akan memenangi pemilu tersebut.

Jika tetap akan maju dan memperbesar peluang untuk memenangkan Pilpres 2009, PDI-P mestinya menengok kembali keputusan politiknya itu, dan merumuskan kembali strategi politik baru. Dasar pertimbangannya, apakah sisa-sisa karisma Megawati Soekarnopoetri masih dapat diandalkan bagi PDI-P untuk menghindari kekalahan politik dalam Pilpres 2009?

Pertanyaan tersebut tidak sekadar menyarankan supaya PDI-P melakukan regenerasi kepemimpinan, tetapi lebih luas dan mendalam, yakni melakukan rejuvenasi atau peremajaan politik baik pada dirinya sendiri maupun dalam perannya sebagai partai politik reformis.

Dengan rejuvenasi politik, PDI-P menginisiasi bukan hanya perubahan internal secara mendasar, tetapi juga menawarkan kepada publik konsep dan perubahan yang berarti bagi kemajuan masyarakat.

Indonesia memerlukan penyegaran paradigma, bukan sekadar power shift. Apa yang ditawarkan PDI-P dari hasil Rapimnas-nya jelas bukan penyegaran paradigma. Namun, peluang untuk dapat melakukan power shift pun kurang didasari oleh penjelasan yang meyakinkan bahwa Megawati Soekarnopoetri pasti akan memenangi Pilpres 2009. (35)

–– TA Legowo, Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), tinggal di Jakarta

PDI-P Jateng Perlu Penyegaran



SEMARANG- Perolehan kursi untuk PDI-P di DPRD Jateng yang melorot 25%-26%, meminta pengurus dari jajaran kabupaten/kota sampai provinsi untuk introspeksi. Perlu segera dilakukan penyegaran berupa reorganisasi agar ke depan partai yang berlambang benteng moncong putih dapat maju.

Pengamat politik Undip Yulianto menilai pengurus PDI-P Jateng dan kabupaten/kota lemah dalam membuat strategi politik. Pengurus masih terlena dengan loyalitas kader maupun figur Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Akibatnya saat bermunculan partai baru seperti Gerindra dan Hanura, konstituen PDI-P banyak yang pindah ke partai itu.

‘’Pengurus dari tingkat provinsi sampai daerah belum mampu mengantisipasi serangan dari partai rivalnya. Karena terlena dengan loyalitas dan figur ketua umumnya, sehingga tidak ada kreasi maupun inovasi. Urusan konstituen pun terlupakan, sehingga suara partai tercuri oleh partai lain,’’ kata dia, Rabu (29/4).

Selain itu, penyebab penurunan suara juga akibat ‘’konflik’’ internal berupa persaingan caleg di internal partai. Tak bisa dipungkiri, keputusan Mahmakah Konstitusi soal suara terbanyak menjadikan tiap caleg berlomba-lomba merebut suara pemilih. ‘’Itu diakui. Kursi di DPRD yang semula 31 kursi kini turun menjadi 22 atau 23 kursi. Penurunan yang sangat menyolok,’’ kata Yulianto.

Figur Muda

Agar ke depan tak terpuruk, menurut dia, perlu segera dilakukan reorganisasi. Artinya pengurus dari tingkat provinsi sampai daerah harus diganti dengan figur-figur muda yang memiliki integritas baik, mampu memberikan pelajaran politik dan timbal balik kepada konstituen.

Bagi dia, ke depan seharusnya tidak lagi mengandalkan kekaliberan tokoh-tokoh maupun loyalitas pemilih. Bagaimanapun, bila partai mampu menyumbangkan karya nyatanya pada masyarakat, partai tetap mendapat dukungan penuh. ‘’Contohlah seperti PKS, ada pengaderan kepemimpinan. PDI-P untuk soal itu sudah mandeg.’’

Ketua Bappilu DPD PDI-P Jateng Suryo Sumpeno menjelaskan, suara partai remuk di 11 kabupaten/kota. Paling signifikan penurunannya terjadi di wilayah Pantura, seperti di Kabupaten/Kota Pekalongan, Rembang, Demak, Kudus dan Kota Semarang. Bahkan di Kota Magelang, Kabupaten Purworejo dan Banyumas penurunan suara partai cukup terasa. (H37,H7-46)

Ketua Umum Gerindra Tersingkir



SEMARANG- Keberhasilan Partai Gerindra mendapatkan 9 kursi di DPRD Jateng pada pemilu ini, ternyata belum bisa diikuti dengan perolehan suara untuk DPR RI. Perolehan suara di tiap daerah pemilihan (dapil) jeblok, sedangkan di dapil V dan VII masih tanda tanya apakah dapat satu kursi atau hilang.

Ketua DPD Gerindra Jateng Abdul Wachid mengaku, perolehan suara partainya kurang menggembirakan. Gerindra gagal dapat satu kursi di dapil IV, VI, VII, IX dan X. ’’Suara kami terutama untuk DPR RI di Jateng kurang mampu mengangkat perolehan kursi di semua dapil,’’ katanya lewat telepon, Rabu (29/4).

Berdasarkan rekapitulasi perolehan suara KPU Jateng, peluang Gerindra dapat satu kursi ada di dapil I, II, dan III. Di dapil I (Kota Semarang, Kendal, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga) mampu menghantarkan artis Jamal Mirdad ke Senayan.

Di dapil II (Demak, Kudus, Jepara), Ketua DPD Gerindra Jateng Abdul Wachid lolos, meski harus masuk tahap II atau 50% Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Di dapil III (Grobogan, Rembang, Pati, Blora) juga bisa meloloskan Sumarjati Aryoso sebagai anggota DPR.

Namun disisi lain partai yang didirikan Prabowo Subianto itu mendapatkan tamparan keras dari Jateng. Ketua Umum Gerindra yakni Prof Dr Suhardi yang dipasang di dapil V (Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Kota Surakarta), gagal melenggang ke Senayan. Orang kedua setelah Prabowo itu hanya mendapatkan 24.615 suara.

Kalah Tenar

Dia kalah tenar dengan sosok politikus nasional yang dipasang di daerah yang disebut dapil neraka itu. Sebut saja ada Puan Maharani, Aria Bima, Hidayat Nur Wahid, Abdul Rozaq Rais (adik Amien Rais), GKR Ayu Koes Moertiyah (Gusti Moeng). Ditambah persaingan dengan tokoh-tokoh daerah.

Secara perhitungan di dapil V, Gerindra sebenarnya punya peluang satu kursi, bersama Demokrat, Golkar, PKS dan PAN ditambah PDI-P yang sudah punya 3 kursi. Dapil V jumlah kursi yang diperebutkan ada 8 kursi.

Akan tetapi Gerindra hanya memperoleh 68.174 suara. Jumlah itu dinilai cukup berat untuk dapat satu kursi, mengingat BPP 188.131 suara dan 50% BPP (94.066). Dengan begitu, Ketua Umum Gerindra Suhardi hanya mampu menunggu keajaiban.

Hal yang sama juga terjadi di dapil VIII (Cilacap dan Banyumas).
Meski berpeluang satu kursi dengan perolehan partai 85.788 suara, namun untuk mencapai BPP (179.473) dan 50% BPP (89.737) cukup sulit. Dengan begitu kursi Gerindra masih ’’mengambang’’.

Soal tak lolosnya Suhardi, Abdul Wachid menyatakan persaingan dengan tokoh kaliber di dapil V sangat berat. ’’DPP sudah memprediksikan akan sulit dapat satu kursi, termasuk tokoh setenar Slamet Kirbiantoro pun juga tak berhasil ke Senayan,’’ ungkapnya. (H37,H7-46)

Kursi DPR Milik Siapa?



PESTA demokrasi terbesar di Tanah Air, Pemilu egislatif 2009 telah berlangsung. Terlepas dari banyaknya kekurangan dalam penyelenggaraan pemilu, kerja KPU baik di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam menyelenggarakan pemilu patut diapresiasi.

Tugas KPU masih belum tuntas. Kini, setelah pemungutan suara selesai, tahapan pemilu selanjutnya yang tak kalah berat sudah menunggu, yakni penghitungan suara secara manual dan penetapan parpol pemenang pemilu serta penetapan calon anggota legislatif (caleg) terpilih.

Sesuai UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota, dan DPD, tahapan tersebut akan dilakukan mulai tanggal 26 April hingga 9 Mei mendatang.

Penghitungan suara secara manual dan penetapan parpol pemenang mungkin tidak begitu menarik bagi parpol peserta pemilu, caleg, dan masyarakat. Hal ini disebabkan, baik dari hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei maupun tabulasi elektronik yang dilakukan KPU Pusat, Partai Demokrat diperkirakan tetap akan mengungguli perolehan suara parpol lainnya.

Justru, yang lebih menarik bagi parpol, caleg, dan masyarakat adalah persoalan berapa kursi DPR RI yang akan masing-masing parpol peroleh dan siapa caleg yang berhak atas kursi tersebut, sehingga masyarakat pun berdebar-debar menunggu siapa yang akan mewakili mereka di Senayan, Jakarta.

Penentuan berapa parpol peserta pemilu yang akan memperoleh kursi DPR RI periode 2009-2014 berbeda dari pemilu 2004. Hal pokok yang membedakan adalah adanya aturan Parliamentary Threshold (PT) sebesar 2,5% dari jumlah suara sah nasional sebagai ambang batas parpol yang boleh ikut memperebutkan 560 kursi DPR RI.

Menurut anggota KPU, I Gusti Putu Artha, aturan PT merupakan langkah pembuka bagi parpol-parpol yang berhak memperoleh kursi. Mengacu pada hasil hitung cepat lembaga survei dan bila hasil tabulasi elektronik KPU, Minggu (19/4), dianggap sebagai hasil final, maka ada sembilan parpol yang lolos PT dan berhak memperebutkan kursi DPR. Kesembilan parpol tersebut adalah PD, PG, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura.

Tiga Tahapan

Setelah mendapatkan parpol yang berhak memperebutkan kursi, berdasarkan Peraturan KPU No 15/2009, ada tiga tahapan untuk menentukan berapa jumlah kursi yang diperoleh parpol, dan siapa caleg yang berhak atas kursi tersebut.
Pertama adalah menetapkan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) untuk setiap daerah pemilihan (dapil) sesuai pasal 20. BPP ini diperoleh dengan cara membagi jumlah seluruh suara parpol di setiap dapil dengan jumlah kursi di dapil tersebut.

Tahap pertama ini, kursi DPR menjadi milik parpol yang memiliki suara sama atau di atas BPP, dan caleg yang berhak atas kursi itu adalah caleg yang memiliki suara terbanyak.

Kedua dilakukan bila pada tahap pertama tidak semua kursi terbagi habis oleh parpol. Sisa kursi tersebut akan diperebutkan oleh parpol yang masih memiliki sisa suara, dengan ketentuan parpol yang memiliki suara sah atau sisa suara 50% dari BPP, maka parpol tersebut berhak mendapatkan tambahan kursi sesuai dengan pasal 23 Peraturan KPU No 15/2009.

Bila dalam tahap ini jumlah parpol yang suara sahnya atau sisa suaranya memenuhi sekurang-kurangnya 50 % dari angka BPP lebih banyak dari jumlah sisa kursi yang belum terbagi, penentuan perolehan kursi didasarkan atas suara sah atau sisa suara terbanyak yang diperoleh parpol secara berurutan.
Tahap ketiga dilaksanakan bila dari tahap pertama dan kedua masih ada sisa kursi dari dapil-dapil di sebuah provinsi, dan suara sah atau sisa suara parpol yang belum mendapatkan kursi.

Tahap ini akan diikuti oleh parpol yang masih memiliki sisa suara pada tahap pertama tapi tidak mendapatkan tambahan kursi pada tahap kedua, dan parpol yang suara sahnya belum mendapatkan kursi pada tahap pertama dan kedua.
Pada tahap ketiga ini, akan ditetapkan BPP baru dengan cara membagi jumlah sisa suara parpol dari seluruh dapil di provinsi tersebut dengan jumlah sisa kursi yang tersedia. Kursi DPR di tahap ini menjadi milik parpol yang sisa suaranya mencapai BPP baru tersebut. Apabila sisa suara parpol tidak ada yang mencapai BPP baru itu, maka sisa kursi akan dibagikan kepada parpol dengan urutan parpol yang memiliki sisa suara terbanyak hingga sisa kursi habis.

Sebuah Contoh

Menurut Mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu, Ferry Mursyidan Baldan, siapa caleg yang terpilih akan tergantung pada jumlah perolehan kursi parpol yang bersangkutan di dapil tersebut. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bahwa parpol yang lolos PT belum tentu mendapatkan kursi, dan sebaliknya, caleg yang mendapatkan suara terbanyak belum tentu menempatkan wakil di DPR karena parpol tersebut tidak lolos PT.

Untuk mempermudah memahami tahapan penetapan perolehan kursi dan siapa caleg yang berhak mendapatkan kursi, berikut illustrasi untuk penentuan perolehan kursi dan siapa caleg yang berhak atas kursi tersebut di dapil Jawa Tengah. Namun, illustrasi ini didasarkan pada hasil sementara tabulasi elektronik KPU hingga Minggu (19/4) bila hasil tersebut dianggap sebagai hasil final baik tabulasi elektronik maupun penghitungan manual KPU yang belum dilakukan.

Dapil Jateng I (Kab Semarang, Kendal, Kota Semarang, Salatiga) yang memperebutkan 8 kursi, Hanura (23.072 suara), Gerindra (31.742), PKS (44.256), PAN (34.167), PKB (49.740), PG (67.892), PPP (37.286), PDI-P (80.641), dan PD (110.512).

Total suara 9 parpol adalah 479.308. Jadi, BPP untuk dapil Jateng I adalah 479.308 : 8 = 59.914. Mengacu pada pasal 30 ayat (3) Peraturan KPU No 15/ 2009, angka tersebut dibulatkan menjadi 60.000. Dengan demikian, dari tahap pertama, hanya 3 parpol yang berhak mendapat kursi, yakni Demokrat (110.512), PDI-P (80.641), dan Golkar (67.892). Masing-masing kursi tersebut menjadi hak Agus Hermanto (PD/23.041 suara), Tjahjo Kumolo (PDIP/15.615), dan Siswono Yudohusodo (PG/17.805).

Karena masih ada sisa 5 kursi, maka penentuan masuk ke tahap kedua. BPP yang digunakan dalam tahap ini adalah 50% dari BPP = 30.000. Pada tahap kedua ini, yang berhak mendapatkan sisa kursi adalah PD (punya sisa suara 50.512), PKB (suara sah 49.740), PKS (suara sah 44.256), PPP (suara sah 37.286), dan (PAN (34.167).

Pada tahap II ini, meskipun perolehan suara Gerindra mampu melewati 50% BPP, Gerindra tidak mendapatkan kursi karena pasal 23 ayat (2) peraturan KPU No 15/2009 menyebutkan, jika jumlah parpol yang suara sah atau sisa suaranya melebihi 50% BPP lebih banyak dibandingkan sisa kursi yang belum terbagi, penentuan perolehan kursi didasarkan atas suara sah atau sisa suara terbanyak yang diperoleh partai politik secara berurutan.

Caleg masing-masing parpol yang berhak adalah Muhammad Baghowi (PD/9.537), Alamudin Dimyati Rois (PKB/25.981), Zuber Safawi (PKS/ 11.674), Machmud Yunus (PPP/12.547), dan Arif Mustafa (PAN/5.813). Dengan demikian, kursi DPR RI untuk dapil Jateng I menjadi hak PD (2 kursi), PDI-P, PG, PKB, PKS, PPP, dan PAN masing-masing 1 kursi. Karena sisa kursi di dapil ini telah habis dibagi, maka sisa suara dan suara sah parpol yang masih ada akan dibawa ke tingkat provinsi untuk memperebutkan sisa kursi dapil Jateng lain yang ditarik ke provinsi karena tidak habis terbagi di dapil.

Cara yang sama juga berlaku penentuan siapa yang berhak atas kursi DPR di dapil-dapil Jateng yang lain, hanya berbeda BPP, tergantung dari jumlah suara dan jumlah kursi yang diperebutkan.

Namun, yang harus dicatat adalah illustrasi di atas bukan penggambaran sesungguhnya, karena penghitungan suara manual di KPU belum dilakukan. (Wisnu Wijanarko-49)

Selasa, 28 April 2009

10 Nama Berebut Empat Kursi DPD



SEMARANG- Perebutan empat kursi yang bakal duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Jateng mulai terlihat. Meski KPU Jateng belum melakukan penghitungan bagi DPD, tetapi Badan Kesbangpol Linmas Jateng sudah menghimpun data perolehan sementara suara bagi DPD.

Dari 28 orang calon anggota DPD yang masuk sepuluh besar besar yakni Widhy Artono Andy Pratikto mendapatkan 496.158 suara (17,35%), Sulistyo 215.665 (7,54%), GKR Ayu Koes Indriyah 200.376 (7,01%), Poppy Susanti Darsono 179.581 (6,28%), Denty Eka Widi Pratiwi 175.353 (6,13%).

Menyusul Aufal Marom 173.521 (6,07%), Ida Masruroh 120.183 (4,20%), KH Marpuji 102.555 (3,59%), Achmad Prihatno 92.903 (3,25%), Ki R Muhammad Hakim 82.302 (2,88%).

Menariknya data Kesbangpol Linmas masih memasukkan nama KH Achmad Chalwani dan Sudjadi dan mendapatkan suara. Padahal keduanya resmi mengundurkan diri. Chalwani dapat 17.498 (0,61%) dan Sudjadi 10.101 (0,35%).

Tunggu Pusat

Ketua KPU Jateng Ida Budhiati mengatakan, pihaknya baru bisa melakukan rekapitulasi suara DPD pada 22 April mendatang. Pasalnya pada 20 April, KPU kabupaten/kota baru menyerahkan ke tingkat provinsi.

Menyinggung soal banyaknya kekecewaan masyarakat terutama dari calon anggota DPD yang tidak bisa mengakses perolehan suara, Ida memahaminya. Ia menjelaskan, KPU Jateng tidak bisa membuat tabulasi sendiri. Dengan begitu, penghitungan tetaplah sesuai jadwal yakni menunggu selesainya penghitungan suara untuk DPR RI.

’’Sebenarnya kami sudah menanyakan masalah untuk bisa menghitung sendiri soal perolehan suara, tetapi sampai saat ini belum ada jawaban dari KPU pusat,’’ katanya.

Dengan tidak adanya jawaban dari pusat, provinsi tidak bisa membuat kebijakan sendiri termasuk alokasi untuk perangkat lunak guna menunjang fasilitas penghitungan suara.

’’Karena kinerja KPU terpusat, segala kebijakan satu pintu. Kalau kebijakan provinsi beda, nanti saat audit dinilai bisa merugikan negara. Oleh karena itu, saya memahami kekecewaan sejumlah masyarakat, tapi kami juga tidak bisa berbuat banyak,’’ lanjutnya.

Sebelumnya sejumlah calon anggota DPD seperti Sulistyo, Poppy Darsono dan Putut Yono Baskoro mengaku kecewa karena tidak bisa mengakses data perolehan suara.(H37,H7-77)

Hampir Seluruh Parpol Merosot



  • Prediksi Kursi DPRD Jateng

SEMARANG- Kecuali Partai Demokrat, perolehan kursi seluruh parpol di DPRD Jateng diprediksi merosot. Pakar politik dari Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Joko J Prihatmoko memperkirakan, dari 100 kursi yang disediakan, selain diisi tujuh partai yakni PDI-P, Partai Demokrat (PD), Partai Golkar (PG), PKS, PKB, PPP, dan PAN, juga akan ditambah Gerindra dan Hanura.

’’Gerindra dan Hanura, dari pencermatan saya, tetap masuk ke Gedung Berlian. Kemungkinan Gerindra lima kursi dan Hanura empat kursi,’’ jelasnya, Sabtu (18/4).

Untuk tujuh partai, kecuali PD, perolehan kursi akan turun dibanding hasil Pemilu 2004. Menurut prediksinya, kursi PDI-P sekitar 25-26 dari sebelumnya 30. Golkar mendapatkan 13-14 kursi atau turun empat kursi.

PD, kata Joko, bertambah menjadi 17-18 kursi dari sebelumnya 10 kursi. Begitu pula dengan PKS, kemungkinan besar hanya bertambah satu atau dua menjadi 8-9 kursi. Adapun PKB, jumlah kursi merosot 15 menjadi 7-8 kursi.

Perolehan suara PPP juga menurun. Dari 10 kursi sekarang ini, nantinya menjadi 7-8 kursi. PAN dari 10 kursi (2004) kemungkinan menjadi 7-8 kursi.

Optimistis

Prediksi serupa dikemukakan parpol. PDI-P, PG, PKB, PAN, PPP mengakui ada penurunan jumlah kursi. PKS optimistis mendapat 10 kursi dengan masing-masing dapil memperoleh satu kursi.
’’Dari 10 dapil, 5 dapil diisi incumbent, sisanya diisi wajah baru,’’ kata Sekretaris Bapilu DPW PKS Jateng M Riyono.

Seperti di Dapil I ada Arif Awaludin, Kamal Fauzi (Dapil II), Agus Abdul Latif (Dapil III), M Haris (Dapil IV), Mahmud Mahfudz (Dapil V), Sri Praptono (Dapil VI), Listiyo Nugroho (Dapil VII), Wahid Ahmadi (Dapil VIII), Abdul Fikri Faqih (Dapil IX), dan Madi Mulyono (Dapil X).

Sekretaris DPD PD Jateng Dani Sriyanto menyebutkan, sejumlah nama kemungkinan akan mengisi DPRD Jateng. Misalnya Atyoso Mochtar, Ika Putri Angajaya, dan Yoyok Sukawi, Haritsah dan Soelastri Soembogo (Dapil II), Bambang Priyoko (Dapil III), Tety Indarti (Dapil IV), dan Lilik Haryanto (Dapil V).

Selanjutnya, Anik Amikawati dan Doni Meiyudin (Dapil VI), Bambang Eko Purnomo (Dapil VII), Kukuh Birowo, Wowok Suwaryo, dan Ratna Asterina (Dapil VIII), Joko Hariyanto dan Husein Malik Trijanto (Dapil IX), serta Moch Ali Suyono (Dapil X). ’’Nama-nama itu belum final,’’ tandasnya.

Ketua Bappilu PDI-P Jateng Suryo Sumpeno memprediksi sejumlah nama lama yang akan bertahan, seperti Murdoko, Rukma Setyabudi, Novita Wijayanti, Bambang Haryanto Baharudin, dan Kartomo.

Juga kemungkinan lolos wajah baru seperti Hendrar Prihadi, Yanti Ernawati, Agus Wardoyo, dan Ayuning Sekar Suci. Sekretaris DPD Nuniek Sriyuningsih dan Harri Pramono, Peni Dyah Perwitosari dan Eko Prasetyo kejar-kejaran di Dapil VI. Juga ada Samirun dan Adi Rustanto.

Sekretaris Bappilu PKB Jateng Muh Sukirman juga memperkirakan banyak muka baru yang akan duduk di Gedung Berlian, seperti Luqman Hakim, Aly Nuruddin, Muh Zen Adv, Aryo Seno Gembong Prakoso, Nur Fuad, Fuad Hidayat, Mustofa, Siti Rosidah, Chamim Irfani, dan Sukirman. (H37,H7-65)

Dapil Jateng I


Hanya Dua Parpol Raih BPP untuk Kursi DPR

SEMARANG-Untuk kursi DPR, khususnya di Dapil I, diperkirakan hanya dua parpol yang perolehan suaranya mencapai bilangan pembagi pemilih (BPP). Keduanya yakni Partai Demokrat dan PDI-P, sementara parpol lain kemungkinan akan berebut kursi lewat perolehan suara yang didapat caleg-calegnya.

Pantauan Suara Merdeka, dalam rekapitulasi penghitungan suara DPR, DPD, dan DPRD Jateng di Kantor KPU Jateng Jl Veteran No 1 A, semalam, BPP DPR untuk Dapil Jateng I sebesar 200.189 suara. Angka itu diperoleh dari total suara sah sebesar 1.601.513, lalu dibagi jumlah kursi yang tersedia, yakni 8 buah.

Perolehan sementara Partai Demokrat mencapai 373.092 suara, dan PDI Perjuangan 260.599 suara. Partai Golkar meraih 173.415 suara, partai lain yakni PKS, PKB, dan PPP masih jauh di bawah ketiga partai itu. Anggota KPU Jateng Nuswantoro Dwiwarno menyampaikan, jika masih ada sisa kursi untuk DPR, namun tidak ada parpol lagi yang mencapai BPP, maka penentuan kursi dengan cara BPP diturunkan menjadi 50% dari jumlah awal.

Penentuan calon terpilih akan didasarkan pada peringkat perolehan suara masing-masing caleg. ‘’Khusus untuk DPR RI memang seperti itu,’’ kata Nuswantoro, kemarin.

Dari hitungan sementara tersebut, sejumlah caleg yang berpeluang melenggang ke Senayan, khususnya dari Dapil Jateng I yakni Agus Hermanto (Partai Demokrat) dengan mendapat 70.017 suara dan Tjahyo Kumolo (PDI-P) 48.869 suara. Demokrat dan PDI-P pun masih mempunyai sisa suara yang cukup besar, sehingga ada kemungkinan masih mendapat satu kursi lagi.

Sisa kursi lainnya kemungkinan akan diperebutkan Siswono Yudo Husodo (Partai Golkar) yang mendapat 45.763 suara, Alamuddin Dimyati Rois (PKB) 54.659 suara, Zuber Syafawi (PKS) 36.556 suara, dan Jamal Mirdad (Gerindra) 34.674 suara.

Berjalan Lambat

Meski lancar, proses penghitungan suara di KPU Jateng berjalan lambat. Sejak dimulai pukul 09.00, hingga pukul 17.00 baru menyelesaikan satu dapil, yani Jateng I. Padahal akan ada 10 dapil. Mengacu jadwal, pada 24 April KPU Jateng harus melakukan rapat pleno penentuan hasil untuk kemudian dilaporkan ke KPU pusat.

Model penghitungan yang dilakukan KPU Jateng dengan cara menghitung satu per satu perolehan suara masing-masing calon legislatif (caleg) mulai tingkat DPR, DPRD Jawa Tengah, dan calon DPD, dengan pembagian tiap-tiap kabupaten/kota menjadi salah satu ujung kelambanan proses penghitungan.

Salah satu tim sukses caleg Partai Golkar, Ali Masykur memprediksi, cara semacam itu akan selesai dalam waktu tiga hari. Ketua KPU Kota Semarang, Hakim Junaedi berpendapat, untuk mempercepat perhitungan, KPU Jateng perlu meniru model penghitungan yang diterapkan di Kota Semarang, yakni seluruh saksi diberikan data tertulis hasil rekapitulasi yang ada.

Selanjutnya, masing-masing saksi melakukan pencocokan dengan data yang mereka miliki. ”Seumpama nanti ada perbedaan, maka baru dihitung bersama. Ini lebih efektif,” saran Hakim.

Ketika dikonfirmasi, anggota KPU Jateng Andreas Pandiangan mengatakan, model penghitungan suara yang dilakukan pihaknya sesuai dengan persetujuan saksi-saksi. (H7,H37-62)